Narwastu
aku pernah menjadi warna
mengulum putik senyum bunga.
menghayal diam dalam bisu
menghasu siapa yang merindu?
di antara keringat senja dan bait titah para raja.
hitam aspal meronta ranah di rahim tanah
lalu lalang pada dekap-dekap masa, tak kenal apa itu luka?
mengiringi hitam tanpa kelam, melintas tiada hingga ada.
suatu petang tiba meradang, kucabut lalang di ladang-ladang
daun-daun yang tumbuh mekar mengembun do’a disetiap putiknya
angin-angin menerpa anak kecil yang sedang rukuk di pinggir kolam.
tersesat isyarat hangat pelukan, sebab kita bukanlah pilu sedingin salju
disini, hidupku bebas membagi narwastu hangat kelabu.
Bungduwak, 2017-2018
KALAM SEPI
Tiada kata, yang mendamaikan gejolak rasa di hati hamba,
kecuali “kun” firman Tuhan menjadikan langit dan bumi ada.
kisah sepi mesti harus saling mengerti
beribu nafas telah kudendangkan suara “ya” pada Tuhan
hingga semuanya meminta ramai, tak satu pun mengharap rima kesepian.
sesekali obat sepi tak terbeli, telahir rindu yang mengalunkan nada-nada puisi.
melintas ramai terasa sepi, masihkah hamba bisa mengitari samudera sedalam sunyi?
Sebab, aku pernah merasa sepi di antara kicau-kicau burung
yang menyaksikan senja di telan bumi.
Tuhan, ajari aku membunuh sunyi, ajari aku merajam sepi.
suara nelayan tak pernah menghujat perihal sepi di bulan Januari
sampan-perahu tak pernah lesu mengibarkan layar menyusuri lautan.
meski mentari enggan menerangi isi alam, para nelayan tetap saja menerjang ombak.
pasrah pada Tuhan yang bisa mengantarkan kisah kasih sepi pada sayap-sayap ikan.
Tiada kata, yang bisa mendamaikan gejolak jarak di hati hamba,
kecuali Kalam Tuhan yang menjadikan langit dan bumi ada.
Januari masih menyalakan labirin kisah beratap sunyi
sementara ramai engkau lupakan sesaat aku mengecup bibirmu
kasih, bukankah itu sisa keramaian yang mestinya engkau ingat !
mestinya engkau melupakan isak tangis dan gerimis senja di bulan ini.
sesaat engkau pinta hujan rinai pada Tuhan, sesaat tubuhmu menggigil beku
hingga engkau yang berkata “aku kedinginan terhanyut kesemuan air mata”
aku ingin membuang sepi, Tuhan memeberiku arti: sepi yang menepi.
kisah sepi akan sampai pada tanaman padi di sawah itu
airnya deras mengalirkan rasa yang menggenangi lesung ranum pipimu
aku hanya bisa terdiam merahasiakan senyumanmu di petang malam
sebab Tuhan telah menjadikan alam hijau serupa pucuk-pucuk sepi
lantas aku masih menghujat datangnya gerimis yang menepi
Kasih, gerimis tak pernah mengungdangmu untuk sejenak mengingatku
doa hujan engkau inginkan, bila tertuang kau abaikan
sejenak aku mendengar jeritan tangis di kamarmu
yang mengundang tubuhku meracik kehangatan di tubuhmu.
Tuhan, aku tak mengerti pada gejolak hasrat dan sepinya kisah ini.
sebab aku tak bisa hidup tanpa kasih yang berarti.
Tiada kata yang bisa mendamaikan gejolak rasa di hati hamba,
kecuali engkau, Tuhan, berfirman “kun” menjadikan langit dan bumi ada.
2018
SAJAK RASA UNTUK NAILAH
Sudah lama aku diam di amperan sajadah gairah diam
Menintai putih, menyulam kisah tanpa perih
di baris doa yang menebar kenang aroma tubuh
engkau memilih mata dari sujud agama subuh
Aku ingin meringkus kenagangan
Jejak jarak akan hadir memetik bunga dari syurga
Ingat namaku, yang akan mengobati perih rindu
dengarlah alunan riap dalam derap langkah kakiku.
Tulislah namaku dalam mimpimu, mimpi yang menjemputmu berbulan madu
Bila sunyi kau anggap arang, akulah yang bisa merubah puing sunyi
Percayalah, apapun akan kucari hingga lautan kusebrangi.
Lama sudah aku menunggu
Tapi engkau masih ragu akan cumbu rayu palsu
Jangan takut pada hujan yang bertandang
Akan kuperangi gerimis langit sehitam arang.
Sumenep, 2017-2018
PANTAI TORAJA
gemuruh ombak iringi langkah, merajut kata mutiara
seakan matahari menyulam laut menjemput subuh yang menepi
angin-angin bersetubuh riang menintai alam pantai Toraja
kupeluk hangat tawa, tumbuhlah arti yang menyimpan damai pulau Madura.
tak pernah sia-sia Tuhan ciptakan panorama indah di pantai ini
burung camar menjalar hangat melepas kicau bersalam sapa
ikan-ikan menyapa sajak kedamaian, seakan kata tak pernah hidup tanpa Toraja
biarkan saja aku hidup dengan karang, tanpa menghujat gigil yang meradang.
Toraja mekar berseri, tergenanglah dermaga nafas yang melantunkan rima puisi
bunga-bunga mekar senyum di dadaku, hingga aku tak kenal sunyi yang berduri.
di pantai ini, aku duduk menyaksikan suara debur ombak, pantai Toraja menarik sapa
aku berteriak memandang wajah ranum matahari, cerlang Toraja menembus dada.
sesaat aku bersimpuh menukik karang di laut kisah Adam dan Hawa
sejenak aku bertasbih mengecup rasa yang tertunda. “Toraja oh Toraja.”
Pantai Toraja — sekali pun tak pernah memberiku secuil perih, luka bahkan derita
di sini, aku berteriak memanggil cahaya — menghembuskan nafas sedalam doa
pasir yang kuinjak, tanah yang kubajak adalah suasana terang di bibir pantai,
damai pantai yang merubah cahaya mekar menyala. terasa aku tak kenal apa itu luka.
suara burung, menjadikan keramaian yang melantunkan damai jantung Toraja
adalah tempatku merajut cinta; memetik segudang kata penuh makna.
Siang tiba meradang, sementara mataku masih lupa akan arah jalan pulang
mataku masih tenang memandang samudera, jauh di dasar arus kedip cahaya
alam ini menjadikan putik narwastu bunga , hingga aku tak kenal apa itu sendu.
sesaat tubuhku mulai membeku, tubuhku mulai membiru; meniti pasir pelukanmu.
Bungduwak-Dungkek, 2017-2018
Saiful Bahri, lahir di Sumenep. Penulis buku puisi: Senandung Asmara dalam Jiwa. Pemenang sayembara terbit buku, di penerbit Tidar Media. Tulisannya pernah tersiar di media lokal maupun nasional. Saat ini, ia masih aktif di kajian sastra dan teater “Kosong” Bungduwak. Kini bermukim di Dusun Bungduwak, Desa Gapura Timur, Kecamatan Gapura, Kabupaten Sumenep.